Mengapa bukan aku yang dipilih? — Part 1
Kok bukan aku yang dipilih?
Banyak sekali hal yang bikin aku tertawa akhir-akhir ini, termasuk lewat pertanyaan, “kok bukan gue yang dipilih?”
Pertanyaan ini boleh jadi semangat mawas diri, boleh jadi semangat untuk membiarkan ia pergi dari hidupmu. Aku memilih yang kedua.
Soal mawas diri, mungkin aku ahlinya. Aku hobi refleksi, malahan seringkali over judgement ke diriku sendiri. Berangkat dari insecurities dan rasa tak pernah cukup, aku mencoba untuk melihat kondisi dari diriku dulu, yang bikin aku terkadang tak bisa melihat rupa buruk orang lain yang menyakitiku, kecuali bilang pada diriku sendiri, “Mel, emang lu kok yang ngga pantas.”
Sesat, pemikiran ini sesat!
Perasaan Tak Cukup.
Dalam banyak hal, seringkali aku merasa tak cukup untuk jadi yang dipilih.
Aku sering merasa ditinggalkan dan diabaikan. Meski aku sibuk menilai, aku sering melanggengkan perlakuan yang tak layak aku dapatkan demi “mempertahankan hubungan”. Memaksa orang yang sudah jelas tak mau aku, mengemis perhatian, menarik ia yang pasif, mengejar ia yang lari.
Sampai aku lupa, bahwa aku juga punya nilai, dan aku pun bisa memilih.
Kalau dulu fokusku pada pertanyaan, “kok dia ngga mau sama gue?” atau “Kok bukan gue yang dipilih?”, sekarang ini, pikiranku sudah berganti, pertanyaan itu sudah jarang sekali muncul. Malah aku akan bertanya, “emang gue mau dia?”
Melempar pertanyaan, “kok ‘dia’ ngga mau sama gue?” sama dengan memberinya power atas dirimu. Kalau sudah dia yang punya power, kamu jadi seakan-akan ngga punya pilihan, dan kamu akan menerima diperlakukan tidak layak.
Perlakuan tidak layak seperti apa?
Dalam kasusku, “breadcrumbing”.
Dia tak pernah konsisten. Dia muncul-hilang-muncul-hilang, selalu begitu. Dia menarikku ke dalam hidupnya, ketika aku sudah masuk, dia akan pergi menjauh. Karena apa? Dia menghindari komitmen. Dia menghindari usaha berlebih, tapi dia tetap mau punya ‘fans’ — aku.
Apapun keadaannya, mau kamu dan dia berjarak ribuan kilometer, mau beda ras/agama (untuk perbedaan agama, aku tidak rekomendasikan), mau dia anak indie kamu anak pop, mau apapun kekurangannya dan kekuranganmu, menyoal komitmen please, jangan mau terombang-ambing tanpa kepastian.
Kepincut Pulu-Pulu
Aku mengenalnya di akhir tahun 2022. Di pertengahan bulan desember itu, tiba-tiba muncul notifikasi di instagramku. Ada pesan darinya yang menanggapi instagram storyku.
Di situlah kami bermula.
Sama seperti pada perkenalan lainnya, aku dan dia mulai dekat dan saling berbagi kisah. Ia memberi waktu dan pikirannya untuk mendengarkan keluh kesahku. Ia ada di saat-saat itu, meski kuhitung-hitung singkat juga. Kami punya selera musik yang sama, ketertarikan yang sama, dan kami mulai membahas masa depan.
Dia kirimi aku puisi dengan kata-kata manis itu, dia kirimi aku draft musik karyanya, dia menyemangatiku dengan kata-kata lembut, dia suruh aku shalat dan berdoa, dia kirimi foto saat ia bekerja, kami bahkan buat playlist lagu bersama. Aku pernah meromantisasi hubunganku dengannya yang kutulis di medium dan blogku yang lain, atau di media sosial yang lain. Seharusnya dia tahu bahwa perasaanku tulus.
Lama-lama aku jadi berharap. Berharap untuk pertemuan, berharap untuk sesuatu hal yang lebih — status. Kenapa butuh status? Jawabanku masih akan sama — meski dalam penilaianku aku yang sekarang jauh lebih sehat — aku butuh clarity, aku butuh kepastian biar aku tahu sampai mana aku harus menjaga batasan.
Rasa-rasanya semua berbeda setelah beberapa bulan (mungkin 3 bulan) kemudian, di malam biasa kami telpon, aku tiba-tiba tanya, “kenapa kita ngga jadian aja?”
Mungkin aku konyol. Semudah itu aku menaruh perasaan pada seseorang. Tapi setelah kubaca ulang, rasanya perasaan ini sungguh manusiawi. Dinamika hubungan kami tercatat dalam beberapa tulisanku. Sebagian kecil di blog pribadiku, sebagian sisanya dalam buku diary — yang ngga perlu siapapun tahu.
Kalau kau mau tahu bagaimana rasanya — deal dengan laki-laki itu — , kau bisa baca semua tulisanku ini…
Andai Waktu dan Jarak Bisa Kubeli
Alexandra
Mati Sepi Sendiri
Lewat Playlist Lagu
Apa Mungkin
Why Don’t You Let Me Break Your Heart Again
Should I Give Up or Should I Chasing Pavements?
Aku tak ingin sedih dalam sudah
ABCDEFGHIJKLMNOPQRindu
Alasan Kau dan Aku Tak Setara
The Last Heartbender
Seasons
Wow, banyak juga. Aku merasa konyol, tapi itu bukti bahwa aku pernah tulus mencintai…. dan aku berani memperjuangkan perasaanku — atau memang aku yang belum sembuh?
Permainan Tarik-Ulur
Dia ini seorang avoidant, dan aku seorang anxious. Lain waktu dia hilang tanpa kepastian, aku mencarinya. Aku coba mengomunikasikan dan mencari jalan tengah, nyatanya ngga works juga. Aku coba mengerti dia, tapi aku menyerah juga. Lama-lama, aku capek. Dan aku mengakhiri semuanya. Aku block media sosialnya.
Satu waktu masa tenang dia datang lagi, lewat telegram (nomornya di telegram lupa aku block) tanpa ada kata basa-basi atau pembukaan yang layak. Dia akan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Aku memberikan kesempatan lagi untuk kami.
Lalu kami bertengkar untuk hal yang sama lagi.
Aku pernah menulis untuknya sebagai ‘bentuk protes’ aku atas sikap avoidantnya bisa dibaca di sini. Tenyata, sikap avoidant itu sudah bisa aku ketahui di tiga bulan pertama kami kenal.
Oh, amboi…. aku masih sakit. aku terjebak lagi.

Desember 2024 kemarin ia menghubungiku lagi untuk ajak bertemu setelah kami no contact beberapa bulan. Ini no contact yang ke sekian, dan untuk itu semua, aku mau lebih tegas kali ini pada diriku. Aku belajar untuk teguh pada pendirianku dan tak memberikan ruang bagi siapapun orang yang tidak benar-benar mau memperjuangkan hubungan kami — memperjuangkanku.
Meski ada excitement yang tak dapat dijelaskan, meski rindu itu tiba-tiba menguar secara tak senonoh tanpa tahu malu, kali ini aku tidak ingin membiarkan diriku goyah.
Aku semakin kuat, ketika aku diingatkan dan baca ulang lagi definisi dan contoh-contoh breadcrumber, dari sahabatku Aya Canina. Benar, aku kena breadcrumbing.

Aku tidak denial sama sekali.
Oke. Aku denial sebentar. Aku ngga balas pesan Aya lagi malam itu. Rasanya aku kesal sekali. Rasanya, aku butuh jarak dengan orang yang selalu nampar aku — di saat seperti ini — , seperti Aya.
Sedetik sebelumnya, aku masih berpikir mungkin aku terima ajakan lelaki itu. Satu sisi aku sangat menginginkan pertemuan — yang pernah kami rencanakan jauh sebelum ini — , di lain sisi aku tidak ingin lagi berharap dan aku tidak ingin lagi bertemu lelaki yang menyakitiku berulang.
Setelah baca thread itu, ngga berapa lama aku chat lelaki tersebut dan bilang dengan tegas, “Aku ngga mau ketemu. Kita ngga usah ketemu dan berkontak lagi.”
Balasannya muncul tak berapa lama. Jawaban seadanya dan pasrah, seperti dia selama ini. Kupikir, sedetik aku melakukan kesalahan, sedetik kemudian aku sadar bahwa ini memang yang harus kulakukan. Bahkan, untuk hal di depan mata — kesempatan bertemu denganku — dia tak memperjuangkannya.
Dia tidak pernah menyadari ini:
Pertama. Ajakannya seperti teman, padahal kami tidak pernah menjadi teman. Dia bilang, “Ketemu untuk sekedar berbincang dan nongkrong”. Aku tidak sepenting itu.
Aku mencoba tegas pada diriku, untuk tidak membiarkannya masuk lagi. Kecuali ia bersungguh-sungguh. Kecuali ia bersungguh-sungguh. Aku baca pesannya terus-terusan, dan tak menemukan keseriusan itu pada pesannya, bahkan di saat aku mengingat-ingat histori kami sejak dua tahun saling mengenal. Maka aku tegas pada diriku dan menolaknya.
Lalu dia mundur tak memperjuangkan aku lebih. Apa yang ia lakukan: memberi perhatian kecil itu, mengabari di sela harinya itu, sebait dua bait puisi itu, sharing lagu-lagu di spotify itu, ia tak mau bertanggung jawab untuk semuanya, bahkan di saat terakhir kemarin ia masih bisa mempermainkanku.
Kedua. Ini yang bikin aku kecewa. Bukan, bukan perkara dia punya pacar.
Aku masih trauma dan terluka, aku menyadarinya. Aku marah banget waktu tahu dia posting untuk pertama kalinya, dan itu ada pacarnya. Kok bisa sama perempuan lain pacaran, sama gue engga? Kok bisa? Lebih parahnya lagi, kegiatan dia dan pacarnya itu di waktu dia mengajakku bertemu. Iya, jelas, aku cuma opsi.
Aku ketrigger. Menjadi yang tidak dipilih, itu triggernya.
Ini respon awalku: kesal, marah, ingin buru-buru confront, pokoknya segala respon dengan reaksi emosi negatif. Aku ingin kali confront dia membabi buta. Tapi orang seperti dia mana ngerti!? Yang dia mengerti cuma dirinya sendiri. Aku diam dan berpikir banyak. Masih dengan emosi kesal. Bahkan aku minta Aya validasi perasaanku. Yes. Perasaanku ini valid.
Aku kecewa.
Jakarta basah, aku memilih mengungkapkan kekecewaanku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menyatakan kekecewaanku pada lelaki itu. Aku mengutarakannya untukku. Tanpa mengharapkan jawaban apapun — aku sudah mempersiapkan diri untuk ini — aku mengirim pesan padanya.


Jujur, aku merasa konyol. Tapi ini hal yang paling mungkin aku lakukan. Menunjukkan rasa kecewaku adalah salah satu caraku untuk berdaya dan memiliki power kembali atas diriku. Daripada membandingkan diri, mengeluarkan pertanyaan yang ngga mungkin terjawab juga menyoal “kenapa bukan aku yang dipilih?”, aku lebih nyaman untuk mengungkapkan semuanya.
Seperti yang kuduga, dia membalas.
[Part 2], klik untuk part selanjutnya.