Fragmen Aku
#30dayswritingchallenge: A person you hate.
Dua orang yang terpikir oleh diriku menyoal tema ini adalah: papa dan mantan suamiku, oh.. dan satu lagi: aku.
—
Aku tumbuh sebagai anak perempuan pertama dengan dinamika yang luar biasa. Waktu kecil, aku ngga ingat pernah dicium atau digendong papa. Bahkan saat masih kelas 1 SD, aku naik angkot sudah duduk dan bayar sendiri, mama ngga pernah mau pangku aku karena aku berat — aku gendut.
Papaku, aku ngga ingat papa pernah bawa aku naik angkot atau tidak. Dulu kami selalu pergi dengan mobil yang ia modifikasi: mobil angkot yang diganti pintunya – kalau gitu apakah ini naik angkot?
Apesnya, mobil yang kukutuk itu ringsek juga saat papa mengantar nenekku ke Tasik, masih di rentang hajatan sunatan adikku — lupa tahun berapa. Konyolnya, mobilnya ringsek ditabrak abang tukang becak yang baru bawa mobil. Katanya, hasil warisan. Bapak itu pernah datang ke rumah, disambut baik sama papa, dan sepertinya mereka damai. Damai yang papa ngga minta duit balik atau ganti rugi. Ya gitu deh papaku.
Menurutku, dia seharusnya menuntut. Tapi mungkin kalau jadi dia aku juga bingung, bapak tukang becak ini pasti kesulitan ganti rugi. Tauk, lah.
Papaku somehow adalah lelaki yang clueless dan sangat tidak emosional — jauh dari kata emosional. Ekspresinya pun rata-rata saja. Kalau becanda juga seringnya garing. Aku ngga terlalu suka dia karena dia ngga pernah kasih makan sisi kecil aku yang butuh perhatian.
Salah satu momen romantis dia padaku, saat aku masih kelas 2 SD, mungkin. Dia suka ajak aku becanda sambil menempelkan kumisnya yang baru tumbuh setelah dicukur 2–3 hari ke tangan atau kakiku. Atau dia yang suka nyanyi jahil ke mamaku di depan kami anak-anaknya, “Idiiih, mama genit. Suka ciumin papa. Sandiii (nama adikku) jadi iri. Pengen dicium juga.” Gitu. Namaku, nama adikku, mamaku, disebutkan di sana. Dan mamaku ngga pernah kelihatan suka. Aku baru sadar, mungkin dia menyimpan luka.
Lebih buruknya lagi, aku baru tahu kalau ada ciuman dari orang tua ke anak. Saat itu aku main ke kos teman SMP-ku. Dia lagi ditengok ayah ibunya. Waktu pamitan, wajahnya dihujani kecupan oleh orang tuanya. Aku baru tahu orang tua boleh mencium anaknya. Jangankan yang brutal begitu, kecup di keningpun rasa-rasanya aku tak pernah dapatkan dari orang tuaku.
Setelah sebesar ini — hampir 30 tahun — aku makin menyadari, bahwa sifat clingy ke laki lahir dari ketiadaan papa. Aku ngga pernah tahu cinta. Kata-kata puitis penuh kasih sayang, sikap lembut, tangan dipegang saat jalan-jalan, ciuman di kening. Ngga ada, papa ngga pernah kasih itu. Mama juga ngga melakukan itu ke anak-anaknya, kupikir-pikir lagi.
Menunjukkan cinta dengan bahasa kasih sayang berupa kata-kata manis atau pujian, dan sentuhan, rasanya haram ditunjukkan di keluarga kami.
Mungkin itu cara mereka mencintai?
Bagiku ngga juga. Mereka terjebak dalam pusara sandiwara. Sepenglihatanku, hubungan mereka tinggal komitmen belaka — bahkan jauh sebelum hari ini. Aku ngga bangga juga mereka bertahan, sejujurnya. Aku malah berharap mereka — terutama mamaku — menemukan kebahagiaannya dan mengenyampingkan fakta bahwa aku dan adikku ada.
Bukan menyoal kekerasan fisik, papaku memang tidak ekspresif saja. Cinta yang seperti ini, kupikir bukan cinta yang perempuan manapun mau, kecuali pasangannya bisa kasih duit 271T.
Aku sih mau dicintai secara ugal-ugalan dengan ekspresi cinta yang kelihatan nyata dan brutal. Saling bertukar pesan manja dan seksi, saling berbagi cerita apapun jenisnya (sedih, marah, luka, penuh ekspresi dan tanpa judgement), pegangan tangan dan cium gemas di kening dan kecup bibir (ngga masalah di depan umum, toh, bukan ciuman foreplay), mendukung mimpi satu sama lain dan saling terlibat (bukan menyoal finansial saja, tapi eksistensi diri ada satu sama lain, ada di sebelah secara fisik, selama prosesnya), bergantung satu sama lain di satu sisi tidak menggantungkan diri dan tetap berdaya secara individu, saling bisa mengandalkan, saling mencari satu sama lain, saling instrospeksi diri dan terbuka dalam menangani konflik, saling belajar kontrol emosi dan kontrol ekspektasi.
Intinya saling. Ngewe aja harus ada dua kelamin, minimal, belum lagi ditambah emosi dan pertukaran energi yang bahaya itu. Kalau sendirian namanya masturbasi!
Meski perempuan ngga selalu butuh kontol untuk orgasme — lalu kalau begitu apa lagi fungsi laki-laki? — tetap, kami butuh sosok. Waktu, perhatian, itu semua diciptakan, bukan menunggu siap apalagi menunggu ada feeling!
Menurutku, hal ini make sense. Dapat pasangan sesuai daftar standardmu ini make sense. Persoalannya, mau berapa lama kau menunggu? Dan. Apakah kamu sudah menjadi standardmu sendiri?
Ah, bodo amat dulu, deh.
—
Aku Terjebak di Hubungan Toxic
Aku pernah menikah. Di tahun 2020 aku menikah, dan resmi mendapatkan akta cerai di 2024, setelah di tahun 2022 berpisah tanpa kontak apapun dengan lelaki itu.
Menurutnya, aku adalah perempuan toxic yang bikin dia berpaling ke perempuan lain. Menurutnya, aku tidak cukup baik sebagai istrinya. Belakangan, aku tahu itu namanya manipulasi dan gaslight.
Empat tahun kami kenal dan menjalin asmara, nyatanya tidak cukup untuk kami kenal satu sama lain. Nyatanya, kami masih bolong sana-sini. Sebagai pasangan, kami tidak bisa saling. Berpisah adalah jalan terbaik untukku.
Bukan hanya satu lelaki (tapi lelaki ini yang pada akhirnya bikin aku sadar kalau aku penuh luka dan perlu sembuh, bahkan semakin terluka karenanya), aku berkali-kali masuk ke lubang yang sama penuh jeratan kata-kata manis lelaki dengan perilaku tidak konsistennya.
Aku memberi mereka penuh, sementara separuh diri pun tak pernah mereka berikan untukku. Aku menerima mereka seadanya, sementara mereka tak menerimaku secuil pun.
Aku terima diperlakukan seadanya, sementara aku memperlakukan mereka sebaik mungkin. Aku menginvestasikan yang terbaik yang bisa kuberikan pada laki-laki, yang ujungnya cuma investasi bodong!
Aku mudah menyukai lelaki, sementara aku semakin membenci diriku.
Berkali-kali aku keluar-masuk hubungan payah, berkali-kali pula aku menilai diriku dengan penuh penilaian buruk. Rasa percaya diriku hilang terbawa waktu, dan aku susah payah mengembalikan diriku pada realita terbaik — realita yang semesta berikan padaku.
Dari ini semua, aku menemukan satu kesimpulan: menjadi perempuan tidak pernah mudah. Aku belajar untuk menerima diri pada akhirnya, dan tidak mempersulit diri dengan tidak membiarkan siapapun keluar-masuk sesuka hati. Aku belajar tegas.
Hal itu karena aku tahu bahwa aku tak punya sosok papa. Dalam kasih sayang pun, konsistensi dia hanya menyoal duit dan hadiah — tapi itu dulu. Tiap rangking 1, papa kasih aku pilih hadiah apapun yang kumau. Dulu ngga jauh dari buku cerita atau textbook (benar, dulu aku koleksi textbook biologi, sesuka itu dulu aku sama biologi) dan alat mewarnai.
Kalau kutahu sekarang tanah sebegitu mahalnya, dulu aku akan minta dibelikan tanah atau saham deh, timbang buku yang sekarang ngga pernah kubaca.
Di umurku yang menjelang 30 tahun ini, bahkan aku masih mengemis kasih sayangnya. Papaku sangat membantuku kemarin, saat aku keluar dari hubungan dengan mantan suamiku, tapi setelahnya dia hilang lagi. Aku ngga mau lagi bertemu dengan lelaki seperti papa— yang ironinya, kebanyakan lelaki yang aku temui serupa papa.
Aku tidak terlalu membenci papa lagi, jujur saja. Semakin aku mengedukasi diriku dengan bacaan terkait kehidupan, dengan ilmu stoikisme; ilmu parenting; ilmu kehidupan yang kutemui lewat teman-teman dan kolegaku — atau siapapun — , aku belajar bahwa mereka juga terjebak. Mereka — orang tuaku — juga manusia dan bisa keliru, sama denganku, toh?
Mereka juga mewarisi luka.
Saat ini, aku belajar untuk membiarkan diriku dengan segala yang melekat di tubuhku. Masa lalu kehidupan, trauma, pengalaman bercinta. Tubuhku, aku membiarkan diriku begini adanya.
Aku Benci Diriku yang Membiarkan Aku Diperlakukan Buruk
Dari papaku yang loyal ke orang lain, dari mamaku yang pendiam dan penuh luka, dari pengalaman tubuh, aku menyadari satu hal yang seharusnya aku paham dari dulu: orang lain tak akan pernah menyakitiku kecuali aku membiarkan mereka melakukannya.
Aku menjadi terlalu naif dan obral harga diri.
Aku membiarkan orang lain memperlakukanku dengan buruk. Mantan suamiku harus main kelamin dengan perempuan lain sebanyak dua kali (yang aku tahu, fakta setelahnya aku tahu ada tiga perempuan, mungkin lebih), baru aku bisa pergi. Aku bisa saja pergi saat permainan kelamin pertamanya aku ketahui dari DM instagram orang lain yang bilang dia jalan sama perempuan lain – temannya informan yang DM aku.
Tapi aku biarkan diriku menerima kata-kata manipulasi penuh tipu daya. Sudah jelas ada bukti dia ngentot perempuan lain, tapi aku menerima kata-kata bohongnya. Jelas ada bukti chat perempuan ini pernah — bahkan sering — main ke apartemenku (apa lagi kalau bukan buat menggesek-gesekkan kelamin biar ejakulasi bareng? — yang parahnya di kasur tempat aku dan suamiku bercinta juga).
Dan aku membiarkan diriku percaya bahwa semua chat itu manipulasi orang yang membenci perempuan selingkuhannya, seperti katanya padaku yang selalu diulang-ulang. Kalau aku marah dan tak terima, dia akan meninggikan suaranya dan bilang, “Yasudah, cerai saja!”
Kali kedua, saat aku tahu perempuan itu hamil, beberapa bulan setelahnya. Aku masih membiarkan diriku percaya kata-kata manipulatifnya yang bilang, “Aku seks sama dia di hari itu aja, selain itu ngga pernah”, yang bikin aku berpikir bahwa aku yang ngga mampu hamil meski kelaminku dimuncrati spermanya tiap aku ovulasi, tiap kami bercinta dengan penuh gairah. Aku pikir, aku yang ngga bisa bunting. Perempuan lain baru kena crot kontolnya sekali, bisa hamil, tuh. Kok aku engga? Jadi…. aku yang ngga bisa bunting?
Berbulan-bulan aku menyibukkan diri berkata-kata buruk untuk tubuhku, pada diriku. Untuk aku, perempuan menikah yang belum hamil. Bahkan setelahnya, aku membiarkan tubuhku dijajah oleh orang lain. Aku pergi ke dokter untuk USG Transvaginal sebanyak dua kali, lalu pergi ke ustad dan dukun beranak yang katanya bisa bikin bunting.
Di dukun tua itu, perutku diremas, vaginaku ditempeli nasi hangat dalam plastik yangdidorong dengan kakinya, sambil dia merapal doa atau mantra apa aku tak tahu. Aku ditelanjangi, dan laki-laki yang kontolnya muncrat pada tubuhku itu hanya diam mengamati di pojokan.
Kata dukun itu, kontol suamiku harusnya dipijit juga, untuk bikin spermanya semakin prima. Tapi lelaki itu ngga mengizinkan tubuhnya digerayangi oleh tangan tua, mungkin takut muncrat di tempat. Sementara aku terjebak dengan ritual yang menghancurkan tubuhku.
Aku membiarkan diriku melakukan segala macam ritual busuk untuk punya anak, sementara laki-laki itu sibuk melakukan ritual ranjang dengan perempuan lain. Sejauh itu, kontolnya belum diperiksa dokter dan belum dipijat dukun.
Aku masih bisa memaafkannya, bahkan, dan menyimpan luka itu pada tubuhku, setelah hal-hal buruk itu terjadi — aku membiarkan hal buruk itu terjadi – dan dengan penuh rasa tak berdaya aku biarkan tubuhnya masuk diriku terus-terusan (terutama saat ovulasi). Aku membiarkan tubuhku dimasuki oleh tubuhnya yang busuk dan ngga tahu diri. Tubuhku menolak, tapi patriarki dan dirinya bilang, bahwa dosa menolak suami berhubungan intim itu besar sekali. Bukankah lebih dosa masuk kelamin perempuan yang bukan istri sendiri?
Tahun berikutnya, dia selingkuh lagi dengan perempuan berbeda. Kali ini jelas sekali mereka main kelamin, dari chat mereka. Aku lagi-lagi tahu dari semesta, bukan dari kontrol diriku.
Aku hanya bisa tertawa kecil membaca pesan busuk itu – pesan seks yang bilang, “kangen kontolmu, sayang”. Enak kah kontol suami orang? Kupikir-pikir, sekarang ini mending aku cari kontol yang didedikasikan khusus untuk diriku sendiri, sih – ngga masalah kalau dari bahan sintesis, ini jauh lebih baik dari kontol hidup yang suka celap-celup.
Payah dan sakitnya diriku, bikin aku memohon-mohon lagi padanya untuk tidak meninggalkanku. Dan dia membuangku begitu saja. Aku masih memohon sampai papa bilang, “Buat apa lagi dipertahanin?”, aku jawab sambil menangis “Harga diri, lah.”
Papaku lalu menjawab, “Justru kalau karena harga diri, mba ngga mau diperlakukan seperti ini. Sudah, kita selesaikan semua sekarang”. Dan aku tak pernah putar balik.
Aku bisa melihat papa yang tegas dan sempurna hari itu. Papa yang membela dan menyayangi anak perempuannya. Papa yang mau maju di depan anak perempuannya, yang dengan gagahnya melindungi.
Papa sangat sempurna saat itu.
Ya, sampai sekarang, jujur saja aku ngga terbayang kalau mama dan papaku yang sekarang bukan orang tuaku. Apapun bentuknya, mereka selalu sempurna untukku. Meski aku belum sempuna, aku harap aku bisa lebih baik dan terlepas dari jerat dunia yang tai, demi mereka yang rela mati saat aku dihajar suamiku sendiri.
–
Dalam dua tahun ke belakang, aku belajar banyak hal. Bahkan papaku bilang, “Jangan terlalu lama sedihnya, harus bersyukur dikasih pengalaman berharga yang ngga semua orang bisa dapetin dan belajar.”
Aku jawab asal, “Pengalaman jadi janda?”
“Pengalaman kuat.” Papaku menjawab. Obrolan ini di malam aku yakin untuk bercerai, di salah satu hotel murah Jakarta. Setelahnya, aku bicara rencanaku ke depan, dan papa sepenuhnya mendukung keinginanku apapun itu.
–
Maka kalau ada yang patut dibenci, bukankah itu diriku sendiri?
Diri yang membiarkan orang lain menyakiti, diri yang membiarkan tubuh remuk demi kesempurnaan tubuh lain, diri yang berputar di prasangka buruk tentang tubuh dan takdir di mana ia berada, diri yang mengutuk waktu dan keadaan, diri yang membenci diri sendiri?
Tidak ada yang lebih buruk dari itu semua.
Betul kata papa, bahwa hal buruk yang orang lakukan ke kita adalah untuk membuat kita jadi pribadi yang lebih kuat. Sekarang ini, aku tak takut lagi ditinggalkan lelaki — atau siapapun. Lagipula, sakit mana yang lebih sakit dari yang pernah kualami — saat bersama mantan suamiku?
Dari pengalamanku, hal terburuk dalam relasi romantis cuma kualami saat bersama mantan suamiku. Sisanya gembel, dan minim makna, tapi tak lantas membuatku baik-baik saja juga, sih.
Aku bukan malaikat tak bersayap yang mau menerima sakit namun tetap tabah, pun aku bukan Tuhan yang maha pengampun. Aku hanya manusia, sama seperti orang yang menyakitiku yang seringkali ingin kukutuk. Namun, berbaik hati pada diri sendiri menjadi jauh lebih penting.
Memaafkan orang yang menyakiti, bukan urusanku, biar semesta yang bekerja, karena hal baik akan selalu kembali, begitu pula keburukan yang kau lakukan ke orang lain.
Tidak ada pesan berarti, apalagi doa untuk kau yang menyakiti. Aku hanya ingin berdoa untuk kesembuhan dan kehidupanku di hari ini dan di masa depan.
Untuk itu semua, untuk hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupku, aku menerima diriku sebagaimana aku yang sekarang.
Untuk papa, mama, sahabat-sahabatku, terima kasih sudah membersamaiku ❤
Untuk Aya Canina dan Ayyara Fay Japakyati, terima kasih banyak sudah mau berproses bersama. Lihat kita bertiga sudah di tahap ini bikin aku sangat bangga ❤