Berproseslah, meski segalanya nampak bajingan

Milla Christia
4 min readFeb 1, 2025

--

Photo by Priscilla Du Preez 🇨🇦 on Unsplash

Maksudku, hidup ini memang bajingan, kan? Ba-ji-ngan.

Waktu lalu, aku memaksa diriku untuk berbahagia sambil berkeliling kota, yang sesungguhnya, semakin aku berkeliling, semakin aku kencing di tiap toilet di daerah tempatku keliling, di situ nampak seperti wilayah kekuasaanku.

Masalahnya, siapa yang mengakui wilayah itu sebagai teritori atau daerah kekuasaan?

Daerah kekuasaan adalah daerah yang dikuasai dan dipengaruhi oleh orang atau kelompok tertentu. Daerah kekuasaan bukan hanya lewat kencing, memang kucing? Kucing pun, kalau di daerah itu tak punya power, dia akan kalah juga.

Bicara “yang dipengaruhi”, memangnya seberapa jago aku memengaruhi orang lain? Yang ada, aku yang amat mudah terbawa arus, hingga tenggelam meski di laut dangkal.

Barangakali saat ini aku sedang tenggelam.

Tenggelam dalam pusara ekspektasi dan harapan yang aku buat sendiri.

Kemarin, aku melewati sesi konselingku yang ke-sekian selama aku hidup. Sejak di bangku kuliah, aku sadar bahwa diriku ‘aneh’, ‘sakit’ dan harus sembuh. Aku gonta-ganti psikolog karena layaknya dokter, psikolog juga ‘cocok-cocokan’, dan aku belum menemukan yang cocok — hingga setidaknya kali ini.

Sudah dua sesi aku lewati dengan psikolog kali ini.

Dalam mataku yang kemana-mana, tak menangkap apapun kecuali bingung dan kosong, aku membuka banyak hal (lagi-lagi). Dengan orang baru yang tanpa ada kepentingan sharing pun, mudah sekali aku untuk oversharing. Apalagi dengan psikolog?

Aku (lagi-lagi) menceritakan hal yang sama, bedanya dengan semangat ‘mengenal diri sendiri’, yang dari beberapa psikolog sebelumnya, pada akhirnya aku menyadari bahwa aku semakin mengenal diriku.

Tapi memang dasar manusia — yang dinamika personal dan hidupnya naik turun luar biasa — , perjalanan sembuh itu seumur hidup. Perjalanan sembuh itu seumur hidup. Kupikir, belajar saja yang seumur hidup. Perjalanan sembuh, pun. Karena betul, pada dasarnya kita belajar segala hal di hidup kita, termasuk belajar untuk menerima diri dan berproses.

Aku semakin paham bahwa aku didesain oleh ‘diriku’ sendiri, untuk serba cepat dan satset, yang bikin aku jadi panikan. Aku jadi ingat, dulu ada komentar dari salah satu keluargaku yang bilang, “Milla mah ngomongnya cepet”, papaku bakal jawab, “Iya,” lalu keluargaku itu bakal bilang, “Iya ya, orang pinter biasanya serba cepat”, lalu papaku seperti mengulang, “Iya, anak ini memang pintar. Makan, ngomong, belajar, cepet. Cepet nangkepnya.”

Kalau itu pintar yang dia maksud, mungkin pintar karena aku selalu ranking 1 saat Sekolah Dasar, dan aku bangga akan hal itu, meski sekarang ini aku akan denial, memangnya siapa yang ndak ranking 1 saat SD dulu?

Rupanya, sejak dahulu sekali, aku terbiasa untuk memenuhi ekspektasi orang lain — orang tuaku, sehingga dewasa ini aku selalu menaruh ekspektasi pada diriku , dan tentu orang lain— sadar ataupun tidak sadar, lebih banyak tidak sadarnya semestinya. Bikin aku sering kena serangan cemas dan panik sendiri, dan bikin aku kewalahan.

Aku kewalahan.

Dulu kupikir, orang lain — dalam kasus relasi romantis — yang tidak bisa memberikan apa yang dibutuhkan dalam berelasi romantis, lelaki yang selalu pergi dan bare minimum pun bahkan tidak, dan itu semua salah dia — mereka.

Padahal, aku yang terlalu banyak berekpektasi, dan terlalu tinggi menetapkan standardku pada orang lain — pada diriku sendiri saja standardku tinggi, kok. Iya, standardku tinggi, termasuk pada diriku, untuk diriku.

Aku terlalu banyak menaruh harapan pada apa yang ngga bisa aku kontrol.

Hingga…

Hal kecil yang aku lakukan — apapun itu — tidak pernah ada nilainya buatku. Bagiku, aku baru ‘berhasil’ jika aku mencapai apa yang sudah aku tetapkan, tapi aku selalu lupa kalau hal-hal kecil dalam tiap prosesnya juga termasuk dari bagian perjalananku.

Lagian, keberhasilan seharusnya indikatornya kita yang buat, dan… kita harus menyadari bahwa tidak melulu A harus berakhir dengan A, B harus berakhir dengan B, kalau tidak A maka gagal. Dalam perjalanannya, yang seharusnya lebih diapresiasi adalah: proses yang sudah dilakukan.

Sulit, bagiku sulit sekali.

Dengan aku yang terbiasa “dicintai dengan syarat”, dan jarang diapresiasi dan dikasih kata-kata motivasi nan emosional — kecuali aku yang seringkali dibanggakan di depan orang tua anak-anak lain, makanya kadang aku sombong dan merasa punya power — bikin aku terbiasa untuk kasih syarat pada diriku.

Contohnya, aku berhasil ketika aku berhasil closing project besar sesuai dengan target kantor. Ketika aku gagal capai target, seringkali aku mendefinisikan diriku sebagai orang yang gagal, bikin aku merasa buruk, dan akhirnya lupa segala perjuanganku.

Target, hasil, proses, itu hal lain.

Mana yang bisa kukontrol?

Proses adalah hal yang aku jalani dan aku usahakan. Masalah target jelas ditentukan bos, hasil ditentukan klien. Kedua ini ndak bisa aku kontrol. Yang bisa aku kontrol gimana cara atau prosesku untuk capai target.

Dari satu hal ini aku belajar untuk lebih menerima dan menghargai diriku sebagaimana aku sekarang. Tidak mengurangi nilai diriku, tidak juga menambah-nambah atau meromantisasi kemampuanku — beda dengan upgrade skill yes — hanya menjadi diriku sekarang yang apa adanya aku saat ini.

Lalu bangaimana dengan kekuranganku?

Kekurangan itu harus disadari, bukan diratapi. Kalau kita menyadari, kita jadi bisa mengalisa apa yang bisa kita perbaiki. Misal, udah tahu ngga punya bakat di public speaking, tapi skill satu ini dibutuhkan untuk mendukung pekerjaan sebagai MC, misalnya. Caranya gimana?

Ya, ikut kursus public speaking!

Misal lagi, kau mau IELTS tapi bahasa inggrismu jelek. Daripada meratapi, kau lebih baik cari tahu tempat bimbingan IELTS, cari buku-bukunya, atau cari teman yang sama-sama ada kebutuhan IELTS.

Dari sesi konselingku kemarin, yang lebih banyak membahas kesalahan-kesalahan aku dalam mengontrol diri atau situasi, aku jadi belajar untuk tidak terlalu meratapi kesalahan. Jangan ruminasi. Yang berlalu ya sudah. Kalau salah, perbaiki.

Aku jadi belajar untuk hidup di masa kini. Masa lalu sudah lewat, dan masa depan toh, masih masa depan. Hidup kita ada di hari ini. Bisa melewati satu hari dengan jalanan Jakarta yang sumpek, sampai di rumah dengan selamat, ketemu kucing-kucing, itu semua adalah keberhasilan: keberhasilan karena telah melewati satu hari ini.

Sekarang, aku mau banyak-banyak mengapresiasi diriku, untuk hal apapun — sekecil apapun. Aku berhak untuk mendapatkan perilaku baik, dan itu harus dimulai dari diriku untuk diriku.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Milla Christia
Milla Christia

Written by Milla Christia

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

No responses yet

Write a response