Apa Mungkin
Lagu dari Mas (3)
Dari dulu semua burukku
Kau terima katamu tiada yang mengganggu
Mengapa tiba-tiba jadi masalah?
Aku pernah bilang padamu jauh sebelum ini, bahwa orang lain mungkin tak akan selamanya bisa menerima trauma orang lainnya.
Dan dalam keributan yang kubuat karena ketidaknyamananku dengan keadaan kita, kau selalu bilang, “Kamu belum berdamai dengan dirimu, Mel”.
Lantas, apa kau sudah?
Kau selalu bilang, punya trauma A, B, C. Ketika aku sedang sedih atau marah kepadamu, kau bilang, “Mel, yang punya trauma itu bukan cuma kamu.” Kau selalu suruh aku bersyukur, bersyukur, lalu bersyukur lagi.
Sudah, aku selalu bersyukur.
Tapi untuk hal yang sebetulnya bisa kau kompromikan — kalau betul niatanmu masih sama denganku, seperti: menelponku barang 5 menit saja — namun kau masih berat, lantas bagaimana aku harus bersyukur?
Kalau kau sudah tak menginginkanku, bagaimana aku harus bersyukur?
Aku kau pinta menunggu, entah untuk apa dan sampai kapan, kau tak pernah bisa kasih kepastian. Kau selalu menjawab, “Nanti juga ketemu muaranya?”
Apa kau tak pernah bayangkan muara seperti apa aku dan dirimu? Kalau pernah, bisakah kau deskripsikan?
Aku selalu bertanya-tanya ini apa, kita ini apa. Mengapa semua ini berlanjut drama yang aku pun tak tahu kapan dan bagaimana akhirnya. Lalu kau selalu bilang bahwa aku yang belum selesai.
Lantas, kamu yang enggan masuk padaku lebih dalam, apakah sudah selesai?
Kau bilang untuk apa semua ini, dan jika terlalu banyak berbagi, kau takut aku pergi atau apalah seperti yang dulu-dulu. Apakah itu namanya selesai? Apakah itu namanya sembuh?
Kau bilang aku egois, lantas engkau, yang sesuka hatimu hingga aku berpikir “Apa aku penting dan ada?”, itu bukan egois?
Kau telpon aku sesuka hatimu dan selalu aku sambut dengan senyum bungah nan mekar, meski aku harus merelakan kebersamaanku dengan teman-temanku, apa kau bisa tersenyum kala aku tetiba menghubungimu di saat kau ada di tengah-tengah temanmu?
Kau yang kerap buat aku bingung, apa itu yang namanya selesai?
Kau selalu bilang aku yang belum selesai, lantas defensemu yang bilang,
Mungkin takdirku yang ga pantas buat siapa siapa. Yang susah dimengerti. Yang emang ya yaudah “sendiri aja lu kib hidup”.
Aku yang belum kenal diriku, atau kamu yang belum kenal dirimu?
Aku yang belum selesai, atau kamu?
Aku memang belum selesai, masih bolong sana-sini, dan kupertaruhkan semuanya demi bisa menjalani hari-hariku menerimamu dan kekuranganmu. Bukankah semuanya proses?
Kenapa kau selalu bilang, “Yasudah, akhiri saja bla bla.” Maaf, harus bilang ini, tapi itu juga yang selalu dikatakan mantanku padaku.
Kau selalu ingin diberi perhatian, yang bagiku, buat apa? Selama kau tak bisa kasih tahu jelas aku ini siapa, jujur, aku menjaga diriku sendiri dari ekspektasiku yang berlebih akanmu.
Sakit. Memang sakit.
Kucoba terima semua, kamu sekurang-kurangmu, dan itu ngga akan cukup, bahkan untuk di detik-detik penuh rancu ini, yang kau selalu bilang, “Kamu menuntut”.
Kalau kamu sudah siap berelasi denganku dalam hal romantis, bukankah, itu hal yang sangat wajar? Selalu telpon, memberi kabar lewat video. Kupikir, bukankah mematut diri di depan kamera masing-masing sudah sering kita lakukan? Mengapa sekarang ini menjadi berat buatmu?
Apakah rasa penasaranmu padaku sudah hilang? Apakah semua ini terburu-buru, atau kau yang takut terlalu jauh?
Yang kau hapus banyak tadi malam, apa kau pikir adil menghapusnya begitu saja?
Tolong beri aku jawaban, agar aku bisa terima apa yang kau lakukan padaku adalah hal yang pantas untuk aku tunggu.