Alasan Kau dan Aku Tak Setara
“Kita mungkin bisa (untuk maju dan jalan bersama), tapi selalu ada ‘timpang’ dan kita sama-sama menolak paham.”
Aku belajar untuk memahami bagaimana semua terjadi. Merunut tiap detail kejadian sejak awal — hingga kini, dan aku melihat bahwa kita bedua sama-sama menolak “paham”.
Mungkin kau lupa bagaimana semua ini bermula.
Selama aku memahami dirimu, bahwa kau punya “naluri lelaki” yang mana kau yang mengejar, bukan dikejar, maka aku memahami betul cara kau mendekat padaku adalah sebuah upaya.
Tak ada media apapun yang paling mujarab mempertemukan kita, kecuali media sosial. Dan kisah lucu — yang sebentar ini — bermulai dari kau yang menambahkanku di daftar orang yang kau ikuti di instagram. Aku tak menyadarinya, sampai kau mulai menyukai semua instastory dan postinganku. Maksudmu caper biar aku notice, kan?
Aku membuka profilmu saat aku menyadari bahwa orang yang menyukai foto-foto dan storyku ini belum aku ikuti. Awalnya, sebelum kubuka profilmu, kupikir kau adalah orang yang kukenal. Ternyata bukan, dan tak berapa lama aku memutuskan untuk melihatmu lebih jauh.
Aku pun mengikutimu balik. Kalau aku tak melakukannya dan bersikap tak peduli, mungkin tak akan ada cerita setelah paragraf ini. Jawab dulu, betul kan? Kau tipe yang kentang. Maju-engga-maju-engga, tergantung respon lawanmu, kan?
Sampai pada suatu malam, kau balas instastoryku, story saat aku baru unboxing buku-buku baru dan di sana ada anak-anakku, Miracle dan Magic, yang menyerbu buku-buku itu.
Kau membuka percakapan kita, dan kau juga yang menutup percakapan kita kemarin. Iya, aku tak balas lagi, karena jawabanmu adalah closure buatku. Itu cukup.
Kau membuka semua jalan dengan masuk ke diriku, menawarkan telinga untuk mendengar, dan sepenuhnya kognisimu untuk kata-kata magis yang keluar dari ketikanmu yang dapat kubaca, pun dari mulutmu saat telinga kita bersenggama dengan gawai masing-masing di tengah malam saat kita berbincang.
Yet, kau menutupnya dengan kata-katamu yang masih magis, rumit dan kontradiktif.
Menurutku, kata-katamu itu kotradiktif. Ini menurutku saja, kalau kau tak setuju, dan malah defensif, ya… barangkali kata-kataku benar.
Sejak kita main HRD-HRD-an, sampai kata-kata terakhirmu yang tak mampu aku mengerti, perihal alasan mengapa kau tak mau terburu-buru — yang bagiku tidak, karena aku menikmati kedekatan kita yang terlalu cepat itu. Bukankah pertanyaan di permainan HRD-HRD-an itu, kau menanggapinya dengan cepat dan kontekstual ke arah hubungan? (Kalau masih ada di gawaimu, kau bisa cek lagi, barangkali aku yang salah tangkap sejak lama).
Dari desember tahun lalu pertama kali saling mengenal, kau biarkan aku buka diriku ke kau yang hampir selalu siap sedia dan tahan banting. Permainan itu bikin aku senyam-senyum ala remaja kasmaran yang belum mengerti orgasme, tapi mulai merasakan listrik mengalir dari kepalanya.
Di Perpusnas — waktu itu — kau bilang, “komunikasi dan kejujuran adalah hal yang utama”, kontradiktif bukan, dengan kau yang sulit berkomunikasi (yang kau bilang sendiri), dan seringkali menghindar, pun sulit terbuka (artinya kau tak jujur kan)?
Mas, kita tak pernah setara sejak dalam pikiran.
Kau kirim umpan setiap waktu, sementara yang aku butuhkan bukan lagi hal remeh-temeh. Kau bilang itu cara kau sendiri menikmatiku, lalu bagaimana denganku? Aku tak kau biarkan untuk menikmatimu, sementara kau sibuk mengusik aku yang tak pernah kau biarkan masuk. Bukankah itu egois?
“Aku aneh.” Ini katamu, dan ya, kau memang aneh. Aku memberimu validasi paling valid atas kata-katamu sendiri.
Kita tak pernah setara sejak dalam pikiran.
Kurasa kau tak pernah punya sikap. Sikap yang jelas apakah kau mau aku, atau tidak. Sementara kau bilang, “Beginilah sikapku”. Iya, sikap yang mau tapi ngga mau, ngga mau tapi mau. Sikap yang bingung.
Kupikir kau memang defensif. Kau pikir kau bisa mandiri dengan mengagungkan sifatmu satu itu. Nyatanya itu semakin menunjukkan dirimu yang masih terombang-ambing.
Ya, ndak papa, itu fase hidupmu.
Yang aku tak suka adalah: mengapa kau bawa aku masuk ke arusmu yang maju-mundur dan bingung itu?
Pun, yang aku sayangkan, mengapa kemarin aku bersedia? Padahal sudah dari awal kubilang yang kumau. Aku mau hubungan yang serius dan dewasa tanpa “ba bi bu” atau “ngang ngeng ngong”. Definisiku yang serius ini adalah menyoal komitmen, ada status yang memperjelas “kita ini apa”. Mengapa status penting bagiku? Sesimple bagaimana aku akan diperlakukan olehmu, dan bagaimana aku akan memperlakukanmu.
Aku ngga minta menikah dalam waktu dekat. Tapi aku ingin kau bisa menemani prosesku, dan dalam proses itu, aku ingin ada bumbu-bumbu romansa.
Aku bisa saja ajak temanku untuk prosesku, tapi tentu bukan untuk urusan romansa. Aku butuh jiwa dan kebutuhan emotional supportku terisi. Dan itu dari laki-laki yang bersedia ada dan kasih cintanya padaku, pun untuk laki-laki yang bersedia aku ada dan kubagikan cintaku padanya. Jadi adil dan sepadan, bukan?
Mungkin ini muluk-muluk untuk orang sepertimu, dan aku tak memaksa.
Toh, sejak lama aku sendirian, dan mungkin Tuhan bilang aku untuk sendiri dulu (lagi). Mungkin Tuhan masih melihatku belum cukup capable untuk urus diri sendiri, apa lagi orang lain? — ini sepenuhnya penilaian diriku akan aku.
Aku terima penjelasanmu yang bilang: “aku mau menunggu sampai aku temui engkau”. Iya, aku sepakat. Kita harus ketemu dulu, dan lihat apa yang terjadi. Barangkali yang kau takutkan adalah ketidakpuasan fisik? Mungkin kau yang tak puas pada diriku nanti atau sebaliknya?
Ketakutan itu boleh saja, aku pun punya ketakutan yang sama. Tapi bukan berarti aku bawa diriku mundur, dan melupakan awal kita bermula, bukan berarti aku lupa permainan konyol HRD-HRD-an itu — yang makin memperjelas kontradiksi antara kata-katamu dengan sikapmu — , bukan berarti aku lupakan lagu-lagu — yang gambaran dirimu dan perasaanmu padaku — di playlist kita, bukan berarti kau harus lupakan janjimu untuk menemuiku, bukan berarti kita lupakan semua proses yang terjadi.
Kau dan aku tetap berproses.
Dan kalau pada akhirnya di pertemuan — kalau jadi— , kita sama-sama ndak puas soal fisik atau apapun itu, ya… kita bisa sudahi semuanya dengan kesepakatan. Ndak masalah.
Yang masalah adalah: kau lupa bahwa kau hidup di masa kini, bukan di masa depan dengan pikiranmu yang entah apa itu — mana kutahu kalau kau ndak bilang? Lagi-lagi, aku manusia biasa, bukan cenayang pun pembaca kode morse, atau kode remaja yang sukanya kasih stimulus tanpa bilang tujuannya apa dengan maksud si-yang-dikasih stimulus akan mengerti dan memulai semuanya.
Aku cuma manusia biasa yang ingin berdiri di kaki sendiri tanpa menunggu keputusan orang lain untuk diriku. Dan aku sepenuhnya ngga mau menggantukan semuanya — termasuk harapan — kepadamu. Kalaupun pernah, sekarang ini aku mau mandiri dengan keputusanku.
Kata-kata terakhirmu kemarin adalah closure buatku, yang sebetulnya ndak perlu juga kutunggu-tunggu. Sikapmu yang on-off, yang ngga konsisten, seharunya sudah sejak lama aku menyadari bahwa itu adalah closure.
Aku tak menyalahkanmu.
Barangkali betul katamu, bahwa kita terlalu buru-buru. Aku jadi berandai, andai.. malam itu aku ngga bilang, “Kenapa kita ngga pacaran aja?”
Mungkin kau masih menikmati kepasrahanmu, dengan berkabar (intentionally) denganku, perempuan yang selalu kau suruh sabar menunggu. Sementara hubungan semacam itu bagiku adalah kesia-siaan. Tak ada guarantee apapun yang membuatmu tetap tinggal dan menjaga hubungan ini.
Untuk apa kau berkabar, bilang sayang, membuat perasaanku nyangkut padamu, sementara… aku ngga tahu posisiku apa. Bukankah yang selama ini kita lakukan sudah melampaui batas? Jika kau jawab “belum melampaui batas” karena bersentuhan pun kita tidak, apalagi melakukan hal-hal manusiawi lainnya yang bertentangan dengan nilai moral, itu salah. Dengan aku bagikan seluruh ceritaku dan kau mendengarnya dengan utuh, berantem-berantem konyol ngga perlu, itu pun sudah melewati batas.
Aku menyadari bahwa kita tak setara dalam pikiran, seperti yang kubilang tadi. Jadi, aku paham betul bahwa kau punya prioritas, dan aku pun punya prioritas — yang berbeda.
Menjalani semua dengan ketidakpastian, aku tak bisa.
Kita memang ngga bisa memastikan besok kita masih hidup atau mungkin sudah mati. Tapi bukankah punya harapan hidup dan maju ke depan adalah bagian dari rasa syukur dan iman kita kepada Tuhan? Bukankah kita disuruh berusaha, berikhtiar?
Mungkin kau butuh berpikir berkali-kali untuk memutuskan apakah aku pantas untukmu, dan kau pantas untukku. Sementara aku memutuskan untuk tak lagi menunggu kau menuntaskan kebingungan dan penilaianmu.
Terima kasih, ya.
Hi! Denger versi audionya di Podcast aku yuk!
Go check: Desah Desus Podcast — Alasan Kau dan Aku Tak Setrara