Aku Tak Ingin Sedih dalam Sudah

Milla Christia
3 min readAug 27, 2023

--

Sudah beberapa hari sejak aku memutus hubungan — segala jenis komunikasi, dan rasanya seperti ingin kembali, tapi aku memilih untuk ngga dulu — entah nanti, entah kapan, atau tidak sama sekali, tapi jujur aku menunggu, dan berusaha keras untuk tak berharap dan “yasudah gapapa”. Aku melepasmu untuk kebaikanmu dan “terutama” aku.

Aku yang anxious — seperti yang sudah-sudah dan aku selalu bilang — tidak pernah bisa mengerti lelaki yang avoidant.

Aku tersakiti dengan segala jenis penolakan. Ditolak selalu bikin aku merasa ngga diinginkan, hingga aku tak berdaya. Lagi-lagi, ini menyinggung eksistensiku sebagai manusia.

Ia bilang aku harus kasih dia space untuk entahlah. Menyelesaikan masalahnya? Menyelesaikan dirinya?

Maka aku segera kabulkan.

Jika ia tak membutuhkanku, untuk apa aku habiskan tenaga menunggunya? Maaf, bukan aku tak sabar. Tapi dalam kepalaku, jika aku bukan tempat pulang, dan hanya dianggap sekedar “teman dekat”, namun ia tak beri kesempatan aku untuk masuk dirinya, maka belum.

Aku akan selalu membutuhkannya, dan ia tak pernah merasa hal yang sama.

Aku paham. Urusannya bukan urusanku, dan ia selalu mampu untuk selesaikan urusannya. Tapi dengan “tak mengizinkan aku masuk” itu beda. Dengan “tak membutuhkanku — secara emosional” itu beda.

Lagi-lagi, apa menunggunya hanya satu-satunya jalan?

Apa aku harus menunggu lagi? Apa aku tak bisa memutuskan jalanku sendiri dan selalu harus mengerti? Apa aku bisa menerima komunikasi — yang tidak ada komunikasi — seperti ini?

Aku pernah tersakiti oleh cara serupa, dan aku ngga mau aku tersakiti terus-terusan.

Kalau memang itu karena aku yang tak bisa terima, mengapa harus aku yang memaklumi? Apa ngga ada kesadaran untuk memperbaiki kekeliruan? Apa ngga tersiksa memendam semua sendirian?

Papa dan adikku tipe yang begitu. Avoidant. Papa jarang marah, karena menumpuk segala perasaan dan masalahnya. Tapi sekalinya marah, kayak setan. Adikku pun. Ia menghindari segala masalah, dan seringkali misuh-misuh sendiri. Aku tak pernah memahami dua lelaki yang dari dulu hidup bersamaku. Apalagi laki-laki yang baru kukenal, dan kupikir potensial untuk masa depan — meski baginya semua “jalani dulu saja”?

Sadar bahwa aku tak bisa mengubahnya — meski aku peduli dan ingin dia, aku paham bahwa trait itu bawaan dan… ya.. silahkan selesaikan dirimu dulu. Ndak perlu bilang “mungkin saat ini belum bisa berbagi, tapi bukan berarti ngga ingin dekat dengan siapapun.” Selamanya trait ini akan kamu bawa, kalau kamu belum sembuh, dan menerima.

Aku ngga mau selamanya bersama orang yang meninggalkanku di saat ia ada masalah, lalu balik ketika ia baik-baik saja. Apa itu yang namanya mencintai?

Aku paham kita butuh personal space, tapi tentunya kita tahu sampai kapan. Sementara aku tak pernah dikasih kepastian sampai kapan aku harus mengerti dan menunggu.

Kupikir benar, kau belajar untuk mencintai dan menerimaku. Tapi maaf, aku ngga bisa menerima dirimu yang begitu. Aku ngga mau selamanya terjebak sama orang yang tak menjadikanku rumah, sementara aku selalu butuh rumah.

Aku sudah mencoba mencintai — mungkin baginya belum, dan cintaku selalu mental. Ia belum siap menerima cinta dariku, pun. Lalu apa lagi?

Berjalan sendiri dengan trauma masing-masing, dengan mimpi masing-masing memang pilihan yang bijak.

Aku merindukannya, dan bersedih karena pilihan untuk membuat jarak — seperti permintaannya — aku lakukan. Tapi, bagaimanapun, aku berdoa untuk kebaikanku dan kebaikannya.

Mengutip kata-katanya yang rancu itu, “Bukankah semuanya nanti menemukan muaranya? Bukankah kalau jodoh pasti bertemu?”

Selamanya akan rancu jika tak dibarengi aksi. Bukankah jodoh itu takdir yang mesti diusakan? Kalau dari awal aku selalu bingung dan tak merasakan usahanya, apa aku telah diusahakan? Apa aku yang terlalu menuntut atau dia terlalu merasa dituntut?

Kata Mbah Sujiwo Tedjo, “Kalau sudah merasa berat dan dituntut, itu bukan lagi cinta”, dan aku percaya itu sekarang. Kalau sudah mulai perhitungan, bukan cinta. Karena cinta itu goblok, bikin “si pecinta” jadi budak yang bahkan rela jadi anjing. Dan aku ngga mau jadi anjing sendirian. Kenapa ngga sama-sama jadi anjing?

Setidaknya aku pernah belajar untuk masuk ke dirinya, dan berharap kita bisa saling. Tapi aku ngga mau berjuang sendirian. Aku ngga mau membersamai sementara ia tak butuh aku untuk bersamanya.

Doa terbaikku untukmu, semoga kau lekas selesai dengan dirimu — pun aku.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Milla Christia
Milla Christia

Written by Milla Christia

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

Responses (2)

Write a response